Ritual dan Praktek Mahayana


Ritual dan Praktek Mahayana






            Buddism Mahayana dalam prakteknya menuntun atau membimbing umatnya untuk menghayati dan merealisasikan Buddha Dharma dengan dua cara, yaitu :
Cara sulit dengan belajar Dharma dari sutra-sutra dan sastra suci


serta meditasi 



 Cara Praktis (Upaya-kausalya) dengan cara sembahyang 



atau Puja bakti.

 
Kedua cara ini maksudnya untuk pengolahan batin supaya alam spiritual miliknya bias berkembang secara perlahan-lahan di dalam jalan menuju penerangan atau pencerahan, makna Tri-kaya.


Umat Buddha Mahayana biasanya melakukan persembahan barang dalam sembahyang di depan altar Buddha atau Bodhisattva atau Tuhan yang Maha Esa. Berupa :

Dupa / Hio
Persembahan kepada Hyang Buddha dan Bodhisattva sebagai pernyataan sikap ketulusan, kebesaran Hyang Buddha dan Bodhisattva yang dapat membimbing umat ke arah kemajuan, ketentraman, kebijaksanaan dan sekaligus dapat mengundang datangnya para Dewa, Naga, Asura, Yaksa, Gandharva, dan makhluk-makhluk lainnya, sekaligus juga dapat menciptakan suasana hikmat, sakral.

Dupa juga melambangkan jasa dan kebajikan perbuatan baik tanpa pamrih / paramita, akan berbuah pahala yang berlimpah-limpah bagaikan asap dupa dapat menyebar luas dimana-mana.


Lilin Merah

Lampu penerangan dipersembahkan dihadapan Buddha dan dibacakan ayat kitab suci / Mantra oleh Arya Sangha, akan memperoleh pahala penerangan dalam kehidupan ini dan dapat mengundang para makhluk pelindung Dharma lebih banyak lagi, untuk melindungi kita serta mencegah dari mara bahaya.

Api dalam pengertian Sakral dari getaran Mantra / Dharani Hyang Buddha atau Bodhisattva akan dapat mengurangi / membakar kekotoran bathin dan menerangi perjalanan hidup ini, bagi yang mempersembahkan dengan penuh sujud dan kehendak memperoleh berkah, ia dapat dijahui oleh makhluk-makhluk jahat. Oleh karena itu api / geni  disebut juga api pensucian. Api juga lambang dari semangat.


Air minum mineral
Air atau sesuatu hasil bumi seperti biji-bijian yang mana merupakan lambang kehidupan, sekaligus juga lambang kekuatan berkah dari pensucian dari kebodhian.





Bunga-bunga
Sebagai tanda kebesaran dari Ajaran Hyang Buddha beserta para Bodhisattva, indah, agung dan dapat menimbulkan getaran welas asih. Juga lambang dari ketidak-kekalan kehidupan di Svahaloka (dunia) ini, tumbuh, mekar, layu dan lenyap. Oleh karena itu selagi kita ada kesempatan berbadan sehat, kita harus selalu melakukan kebajikan untuk memupuk karma yang baik, bagaikan bunga yang indah dipersembahkan kepada yang layak dipersembahkan. Bunga yang segar indah dipersembahkan di altar, altar tersebut ada dupa yang telah dinyalakan, akan lebih banyak mengundang makhluk-makhluk yang membutuhkan.




Buah-buahan
-          Buah segar dipersembahkan di altar Hyang Buddha, Bodhisattva atau dewata merupakan sikap pengorbanan tulus terhadap yang dipuja.
-          Buah segar dipersem,bahkan merupakan tekad mengabdikan diri kepada semua makhluk dan membagi hasil pahala kita kepada orang lain.
-          Ada beberapa dari para makhluk suci (para dewa ?dewi) yang hidup dari persembahan buah-buah segar dan makhluk-makhluk suci yang telah menerima persembahan itu akan melindungi kita dari gangguan-gangguan jahat, serta dapat menimbulkan nilai-nilai kesakralan / getaran suci.


Persembahan barang dalam sembahyang secara lengkap diatas biasanya dilakukan pada hari Upavasaka dan dengan makan-makanan nabati. Persembahan barang boleh juga dari :

sayuran yang dimasak

manisan buah

kacang

kue,dll


Asalkan barangnya bukan dari bahan atau langsung dari daging

 atau makhluk bernyawa/hewan ternak. 



Jangan pula persembahkan barang berupa :

kemenyan
 



minuman mengandung alcohol


minyak wangi


rokok cerutu (Lisong)[1]



Tuntunan Kebaktian dan Tata Upacara

  • Penuntun kebaktian umum
  • Penuntun kebaktian pagi
  • Puja
  • Penuntun kebaktian sore
  • Trisaranagamanam (Visudhi Trisarana)
  • Asthamgasilan (Visudhi Pancasila)
  • Upacara pabbajja shramanera
  • Penuntun Upacara Pernikahan
  • Penuntun Upacara Kematian[2]



[1] Suwarto. T, “Buddha Dharma Mahayana”, Hal : 894

[2]  Ibid , Hal : 904

Tidak ada komentar: