Aliran (Hinayana) Theravada


Aliran Hinayana (Theravada)

Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hinayana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta. Hinayana terdiri dari hina kecil dan yana sering disebut sebagai  “kendaraan kecil” karena bertujuan menjadi arahat maupun paccekabuddha yang dianggap lebih rendah (inferior). Istilah Hinayana sendiri sebenarnya merupakan istilah yang diberikan oleh kaum Mahayana.

Theravada adalah ajaran-ajaran asli dari YMS Buddha Gotama dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhi Dhamma Pitaka.
Didalam aliran hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yang menganut aliran ini, masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dulu di waktu sang guru sendiri masih hidup pada 25 abad silam.

Penganut-penganut hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai penerangan sempurna sebagai jalan yang terpendek dalam menyelami dhamma dan mencapai pembebasan (nibbana). [1]

Tradisi yang berkembang selama berabad-abad telah mengubah praktek sempit aliran Theravada yang pada awalnya hanya ditujukan untuk bikhu. Hinayana menjadi aliran yang besar dengan dikenal ditengah masyarakat. Para bikhuni terus menekuni ajaran guna mencapai tingkat arhat. Namun metode baru berkembang untuk perumah tangga (umat awam) dalam mempraktikkan ajaran agama Buddha, meskipun mereka tinggal bersama keluarga, memiliki harta dan mengejar karir. Aliran Hinayana mengajarkan kepada pengikutnya untuk hidup sesuai ajaran, puas dengan apa yang diperoleh, dan hidup bahagia dengan janji bahwa mereka akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan dalam kehidupan selanjutnya (Simkins dkk, 2000:24).

Perlu diketahui, Hinayana dan Theravada bukanlah suatu istilah yang sama. Theravada mengacu pada Buddhisme yang masuk ke Sri Lanka menjelang abad ke-3 SM di saat belum ada Mahayana di masa itu. Aliran Hinayana dikembangkan di India dan terlepas eksistensi dari aliran Buddhisme yang ada di Sri Lanka. Saat sekarang tidak ada lagi aliran Hinayana di belahan dunia manapun. Oleh karena itu, pada tahun 1950 World Fellowship of Buddhists yang dibentuk di Kolombo secara mutlak memutuskan bahwa istilah Hinaya harus dikeluarkan bila mengacu pada Buddhisme yang ada sekarang di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan lainnya. Pengikut aliran Hinayana tersebar mulai dari Srilanka, Burma, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos.

Para pengikut aliran ini merasa tidak senang dengan nama Hinayana. Mereka merasa tersakiti karena dianggap hanya sebagai golongan atau kelompok kecil. Mereka lebih suka menyebut jenis ajaran Buddha yang mereka anut sebagai Theravada atau jalan para sesepuh. Dengan demikian mereka menyatakan diri sebagai wakil agama Buddha yang diajarkan oleh Sang Buddha.[2]

Pokok ajaran Theravada

a)      Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang berbeda untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.
b)      Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau relasi yang kecil dan pendek, yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus-menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada”perorangan” yang palsu.
c)      Tujuan hidup ialah Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal berada di dalam Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
d)     Cita-cita yang tertinggi ialah menjadai arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali. [3]

Aliran ini pada dasarnya memangdang manusia sebagai pribadi yang tidak bergantung paa penyelamatan pihak lain. Mereka berpendapat bahwa manusia sendirian di alam semesta, sehingga dia melakukan berbagai hal dengan upaya sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Ini berarti bahwa nasib manusia di dunia ini bergantung pada dirinya sendiri.

Dalam aliran Theravada ini  yang meryupakan kebajikan utama adalah Bodhi, kearifan yang lebih mengutamakan perbuatan yang tidak mementingkan dirinya sendiri dari pada mencari kebenaran. Aliran ini berpusat pada rahib yang berpendapat bahwa penolakan kehidupan duniawi adalah sebagai suatu hal yang amat terpuji. Bahkan mereka yang sama sekali tidak berminat untuk menjadoi rahib, diharapkan mengalami hidup sebagai rahib selama 1 sampai 2 tahun agar dalam hidupnya memperoleh beberapa kebajikan.  [4]

Paramitas

Menurut aliran ini 10 (dasa) paramitas yang berasal dari bahasa pali :
1)      Dana                             (pemberian)
2)      Sila                                (perbuatan baik)
3)      Nekkhamma                 (penolakan)
4)      Panna                            (kebijaksanaan)
5)      Viriya                            (energy)
6)      Khanti                           (penahanan, sabar)
7)      Sacca                            (kebenaran)
8)      Adhitthana                   (resolusi)
9)      Metta                            (cinta atau persahabatan)
10)  Upekkha                       (persamaan)

Ciri-ciri Theravada

  • Dalam memandang kenyataan dunia hinayana menggunakan realisme psikologis,
  • Menolak adanya keberadaan yang sejati di dalam fenomena dan menolak pernyataan-pernyataan metafisika,
  • Buddha dianggap sebagai manusia normal yang mempunyai kekuatan lebih.
  • Buddha dipuja layaknya seorang guru yang membimbing ke kesucian tidak dilebih-lebihkan.
  • Nibbana hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri
  • Jasa hanya dapat menginspirasi mahkluk lain ( punya anumodana).
  • Nibbana adalah tujuan tertinggi dari seseorang
  • Nibbana adalah kebebasan terakhir dari penderitaan
  • Bersifat rasionalistik Hinayana memandang bahwa hal itu didukung oleh banyak factor misal keyakinan, kamma, dan kebersihan bathin sehingga mantra atau paritta akan mempunyai sifat mistik.
  • Bodhisatva adalah mahkluk calon Buddha yang masih menyempurnakan paramita untuk meraih penerangan sempurna.
 Pemikiran Theravada

§  Aspek Penafsiran
Dalam hal penafsiran Theravada lebih bersifat konservatif  yaitu menjaga yang sudah ada, mengacu pada apa yang sudah ditetapkan pada konsili-konsili yang sudah ada. Hal ini dipertahankan guna mengantisipasi adanya kesalahan penafsiran.
§  Aspek Cita-cita
Theravada yang merupakan paham yang konservatif  bercita-cita pada pencapaian arahat,  dianggap arahat adalah satu level dengan sammasambuddha tetapi aspek cita-cita pada  Theravada ini tidak sepenuhnya ingin menjadi arahat karena beberapa pengikut aliran ini ada yang bertujuan menjadi sammasambuddha.[5]

Kitab Suci Theravada

Kitab suci aliran ini dikenal sebagai Pali Canon. Kitab suci ini kemudian dibagi menjadi tiga bagianyang disebut Tipitaka (“tiga bakul”):
·           Vinaya Pitaka, (peraturan-peraturan golongan para Bhiksu) berbicara mengenai Sangha. Terdiri dari 3 buah tulisan yang yang membicarakan peraturan-peraturan tata-tertib bagi para bhiksu.
·           Sutta Pitaka, (keranjang pengajaran). Memuat 4 buah kumpulan yang besar dari pelajaran buddha. terdiri dari bermacam-macam ceramah yang diberikan oleh Buddha.
·           Abhimdhamma Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha. Terdiri dari 7 buah naskah, yang merupakan uraian-uraian ilmiah yanmg kering tentang dogmatika.[6]



[1] Majelis Buddhayana Indonesia,”Kebahagiaan Dalam Dhamma”, Hal : 333
[2] Ana yuliana,”Agamaku Agamamu”, Sidqah Semesta, Hal : 92

[3] Dr. Harun Hadiwijono,”Agama Hindu dan Budha”,PT.BPK Gunung Mulia. Hal : 69
[4] Ana yuliana,”Agamaku Agamamu”, Sidqah Semesta, Hal : 92
[5] http://www.scribd.com/faizurrahmana/d/86201425-Hinayana-Dan-Mahayana
[6] Dr. A.G. Honig Jr.”Ilmu Agama”, PT. BPK Gunung Mulia. Hal : 217-218

Tidak ada komentar: