IMLEK – merupakan penanggalan/almanak/kalender
bagi suatu bangsa/etnis yang berdomisili di daratan Tiongkok (China)
bagian tengah dan timur, terutama adalah suku Han dan beberapa suku lain
yang merupakan mayoritas bangsa tersebut.
Sama dengan penanggalan
Hijriah bagi bangsa –bangsa Arab yang berada di Timur Tengah, atau
penanggalan Masehi bagi bangsa-bangsa Eropa dan lain sebagainya.
Penanggalan-penanggalan ini tidak dihasilkan dari suatu
eksperimen/penemuan yang didapatkan oleh seorang atau sekelompok ilmuan
pada suatu tempat/ruang serta dalam kurun waktu yang tertentu, tetapi
adalah hasil dari pengamatan, pencatatan, pembahasan dan
perbaikan-perbaikan yang berlangsung didalam masa ke masa selama
berabad-abad, bahkan ribuan tahun lamanya oleh suatu bangsa/etnis karena
geografis, kebutuhan hidup, perabadan dan kebudayaan dari kelompok
tersebut.
Dengan demikian penanggalan apapun yang dipergunakan di muka bumi
ini, merupakan pemanfaatan alam semesta ciptaan Tuhan sebagai dasar
untuk suatu kepentingan kehidupan manusia, dan tidak berkaitan dengan
ritual ketuhanan/religius/agama yang ada dan diyakini manusia sejak
sekitar 2000 tahun yang lalu.
Penanggalan / alamanak / kalender Imlek didasarkan atas gabungan
perhitungan peredaran Bulan (Kalender lunar) dan peredaran Bumi
mengelilingi Matahari (kelender solar). Kalender ini selain digunakan
sebagai penanda harian juga digunakan untuk perayaan tertentu terhadap
musim seperti misalnya Perayaan Tahun Baru sebagai awal musim semi.
Kalender ini pertama kali dikembangkan satu milenium sebelum masehi.
Legenda menyebutkan pertama kali ditemukan pada kekaisaran Yellow (Huang
Di) dan ditambahkan sistem kabisat pada zaman Dinasti Yao.
Karena Tiongkok (China) termasuk wilayah sub-tropis maka penanggalan
pun mengacu kepada parameter equinox (posisi Matahari tepat di
khatulistiwa) dan solstice (posisi Matahari terjauh di utara/selatan
khatulistiwa). Perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh sistem
astronomi barat melalui Jesuit dan sistem kalender Gregorian (kalender
Masehi yang kita kenal sekarang).
Beberapa aturan perhitungan yang ditetapkan tahun 104 SM masih
berlaku hingga sekarang, seperti Bulan adalah ”Bulan lunar”, awal hari
dihitung mulai saat tengah malam (pukul 00:00) dan winter solstice
selalu pada bulan ke 11 (memasuki zodiak Capricorn) serta beberapa
aturan dasar lainnya.
Jadi, meskipun penanggalan bulan berdasarkan peredaran Bulan namun
karena parameter equinox dan solstice di atas; Bulan pada kalender China
selalu tidak jauh beriringan dengan penanggalan Masehi (berbeda dengan
kalender Hijriyah yang hanya mengacu ke peredaran Bulan saja).
Sebagai
contoh nyata perayaan Tahun baru Imlek selalu berada di antara akhir
bulan Januari hingga minggu ketiga Februari.Masyarakat Tiongkok di daratan pada awalnya adalah masyarakat
agraris yang kehidupannya sangat tergantung pada iklim dan kesuburan
tanah.
Daratan Tiongkok memiliki 4 macam iklim yang berbeda (musim Semi,
Panas, Gugur dan Dingin), maka para petani sangat mengandalkan
pengetahuan iklim untuk melakukan rutinitas pertanian, dan para nelayan
yang hidup disepanjang pantai serta pelayaran perlu mengetahui keadaan
cuaca dengan benar pula, kebutuhan kehidupan inilah yang mendesak
manusia untuk memiliki pengetahuan tentang perubahan iklim dan menjadi
sangat vital.
Dengan demikian, perayaan Imlek pada awalnya dimaknai
sebagai rasa syukur masyarakat agraris Tiongkok karena telah lepas dari
musim Dingin dan memasuki musim Semi yang baik untuk pertanian. Akurasi
penanggalan ini dapat dilihat antara lain pada saat Bulan Purnama yang
selalu tepat jatuh pada tanggal 15.
Disamping itu Laksaman Cheng Ho (Zheng He) yang berawal dari tahun
1405 sampai 1433, melakukan pelayaran yang sangat spektakuler pada zaman
itu, dengan armada yang sangat besar (300 buah Kapal dan 28.000 Awak
kapal), telah melakukan 7 (tujuh) kali Muhibah Bahari sampai ke benua
Afrika, bahkan dinyatakan telah mendarat di benua Amerika 87 tahun
sebelum Columbus (menurut buku ”1421” karangan mantan Kapten AL. Gavin
Menzies dari Inggris), juga menggunakan jadwal pelayaran yang
berdasarkan pada perubahan iklim dan arah angin dari petunjuk
penanggalan Imlek ini, sehingga jadwal setiap kali keberangkatan dan
kembali dari muhibah tersebut selalu jatuh pada waktu yang hampir
bersamaan.
Im-Lek (dialek Hokkian/Yin Li bahasa Mandarin) masing-masing Im (Yin) – dari Im-Yang (Negatif & positif), suatu paham yang meyakinkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, selalu mengandung dua macam elemen/sifat yang saling berlawanan, namun juga saling menyeimbangi, sama halnya dengan Bumi yang diseimbangi antara Bulan (Malam, Gelap dan Dingin) dan Matahari (Pagi, Terang dan Panas). Lek (li) – berarti penanggalan penunjuk hari, bulan dan tahun.
Dalam proses penetapan kalender yang panjang itu para ahli astronomi
Tiongkok kuno pada akhirnya menetapkan 12 tahun Imlek dalam 1 (satu)
siklus. Astrologi Tiongkok (salah satunya kita kenal sebagi Shio) jauh
lebih rumit dari sistem astrologi Barat, ada 12 binatang yang menjadi
simbol astrologi serta 5 macam unsur materi. Jika digabungkan bisa
menjadi 60 kombinasi. Kedua belas binatang tersebut adalah Tikus, Sapi,
Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing dan
Babi, serta kelima unsur materinya adalah Kayu, Api, Tanah, Emas (atau
Besi) dan Air.
Mengingat proses penetapan yang sangat panjang itu, maka terjadi
banyak versi tentang penghitungan tahun Imlek yang beredar di masyarakat
Tiongkok kala itu, setiap dinasti yang berkuasa selalu menetapkan
berdirinya dinasti tersebut sebagai tahun baru pertama dan seterusnya.
Dengan banyaknya dinasti yang ada dalam sejarah Tiongkok, maka perbedaan
penghitungan tahunpun menjadi sangat beragam, hingga pada dinasti Ch’in
(tahun 221-207 SM), Raja Ch’in sebagai pendiri dinasti pertama yang
dapat menguasai dan mempersatukan sebagian besar daratan Tiongkok (dari
bagian tengah sampai timur) memerintahkan untuk menetapkan penghitungan
awal tahun Imlek terhitung dari tahun kelahiran Khong Hu Chu (Kongfuzi
–seorang filosof tersohor yang karyanya menjadi pedoman/prinsip hidup
pemerintah dan masyarakt di Tiongkok), karena sejak itu tidak ada
perubahan yang singnifikan atas hitungan tersebut, maka penghitungan itu
berlanjut hingga saat ini.
Tahun Baru Imlek sebagai awal tahun yang dimulai dengan berakhirnya
musim dingin dan datangnya musim semi di daratan Tiongkok, saat itulah
petani mulai melakukan pekerjaan cocok tanam, saat yang sangat
dinanti-nantikan untuk memulai pekerjaan yang akan memakmurkan keluarga.
Sebagai tanda penyambutan hari itu, masyarakat bersuka ria mengadakan
perayaan. Sejarah Tiongkok sangat panjang, daratan yang luas, daerah
yang berjauhan serta perbedaan geografis tentu membentuk karakter,
budaya dan tradisi yang berbeda di setiap daerah, maka kebiasaan atau
cara yang dilakukan untuk merayakan hari itu akan berbeda di setiap
daerah.
Apabila kita kembalikan kepada makna Imlek sebagai rasa syukur akan datangnya tahun baru yang juga menandai awal musim semi, maka sistem penanggalan yang diterapkan oleh Dinasti Xia (Abad ke 21—17 SM) lebih cocok dijadikan sebagai patokan awal Tahun Baru Imlek. Bukan sejak tahun pemerintahan Dinasti Ch’in (221-207 SM) yang menetapkan berdasarkan pada tahun kelahiran Khong Hu Chu (tahun 551 SM) seperti yang dipercaya sebagian besar masyarakat Tionghoa.
Adalah suatu kebiasaan umum di dalam masyarakat disana bahwa dalam
suasana yang bahagia itu akan melibatkan seluruh keluarga, begitu pula
dalam kehidupan sehari-hari yang selalu berada dalam lingkungan yang
dekat, maka pada momentum yang bahagia ini, seluruh sanak keluarga akan
saling memberi hormat, terutama kepada yang lebih tua, dan sebaliknya
kertas merah (lambang kehabagiaan / keberuntungan) yang disebut Angpao
(atau Ya sui qian –rejeki agar awet muda/umur panjang), kebiasaan ini
lambat laun menjadi adat dan tradisi di Hari Raya Imlek ini.
Perjamuan makan bersama pada malam menjelang tahun baru adalah hal
utama yang biasa dilakukan, sekaligus untuk bermusyawarah merencanakan
pekerjaan yang akan segera dimulai esok hari, menu makanan yang
disajikanpun makin beragam dan bermakna sejalan dengan perkembangan
zaman dan tingkat kemakmuran, serta mitos-mitos di setiap daerah
misalnya:
Ikan ( Yu – yang dengan nada sama berarti ’Berkelebihan’) menjadi menu makanan yang tidak boleh ditinggalkan agar keluarga tersebut mendapat tambahan rejeki yang besar di tahun depan ini.
Kue-kue an juga merupakan hidangan ringan yang harus disediakan untuk
menjamu tamu dan kudapan di saat santai, kue-kue ini disediakan dengan
rasa yang manis, agar masa depan keluarga dan tamu akan semanis kue-kue
ini, begitu pula dengan bentuk yang memiliki makna masing-masing serta
beda di setiap daerah, misalnya di:
Tiongkok bagian utara ada Shui Jiao –semacam Pangsit yang berisi berbagai jenis sayuran dan daging yang dimaknakan manusia harus hidup bersatu dan rukun. Tiongkok bagian selatan ada Nian Gao – kue Ranjang (Nian – dengan nada sama berarti ’Tahun’, Gao – dengan nada sama berarti ’Tinggi’) yang dimaknakan semoga hari-hari kedepan tingkat kehidupan jadi semakin tinggi/makmur.
Dalam hal makanan, perayaan Hari Raya Imlek di Indonesia telah
membaur dengan unsur budaya lokal. Pada hari ke 15 yang merupakan
penutupan rangkaian acara perayaan Hari Raya Imlek, di beberapa tempat
dihidangkan makanan yang dikenal dengan nama Lontong Cap Goh Meh.
Sedangkan Masyarakat di daratan Tiongkok tidak mengenal lontong karena
lontong adalah makanan khas Indonesia. Ini merupakan representasi dari
pertautan lintas budaya.
Barongsai dan liang-liang adalah salah satu atraksi kesenian dan
kebudayaan tradisional yang selalu ditampilkan pada perayaan-perayaan di
masyarakat Tiongkok, maka pada perayaan Hari Raya Imlek inipun menjadi
suatu atraksi yang tidak terlewatkan, paduan kesenian dan akrobatik ini
disukai karena suara tabuhan tambur yang keras, dapat menarik perhatian
masyarakat untuk datang menyaksikan, sedangkan wajah Barongsai dan
Liang-liong yang seram dan warna warni tersebut dianggap dapat
menakut-nakuti, bahkan mengusir makhluk jahat maupun binatang buas yang
akan / dapat mengganggu masyarakat, namun pada tempat/daerah yang
berbeda akan terdapat implementasi makna yang sedikit berbeda.
Komunikasi lintas budaya juga muncul dalam tradisi ’barongsai’ yang
bisa dimainkan kapan saja dan oleh siapa saja, begitu juga dalam acara
gotong toapekong yang hanya dilakukan pada hari ke-15 setelah Imlek,
yaitu Cap Go Meh. Di Jakarta, Medan, dan juga kota-kota lain di
Indonesia selalu menyertakan kaum penduduk asli sebagai pemain.
Sementara itu pertunjukan itu dapat ditonton oleh semua orang, baik oleh
etnis Tionghoa maupun etnis lain.
Agama Tao- adalah suatu ajaran tentang keyakinan terhadap yang maha
kuasa (ketuhanan) pertama di daratan Tiongkok, yang lahir dari ajaran
Laozi (+/- tahun 600 SM), disusul dengan masuknya agama Budha (+/- tahun
500 SM) dari India, serta penghormatan terhadap Filosof tersohor Kong
Hu Chu (Kong fuzi – +/- tahun 550 SM) yang akhirnya berkembang menjadi
pada tokoh terakhir ini, dalam perjalanan sejarah menjadi keyakinan yang
dianut oleh masyarakt ini, walau ada sebaian masyarakat menyembah
secara terpisah, namun sebagian besar masyarakat menyembahnya dengan
digabung menjadi satu dan disebut San Jiao (Tiga Ajaran – Tri Dharma).
Semenjak itu, pada perayaan Hari Raya Imlek, para umat agama tersebut
disamping melakukan kebiasaan (adat dan tradisi) penyembutan Hari Raya
Imlek dalam keluarga masing-masing, juga melakukan sembayang
(penghormatan dan syukuran) kepada Tian (sebutan terhadap Tuhan) serta
siombol-simbol ketuhanan yang diyakini umatnya, di Klenteng (rumah
ibadah Tri Dharma atau Tao) dan Vihara (Budha), sebagai ungkapan rasa
syukur atas keselamatan dan rezeki yang telah diperoleh serta
pengharapan untuk sesuatu yang lebih baik di masa yang akan datang pada
Sang Pencipta atau Penguasa Alam Semesta ini, namun bagi masyarakat yang
kemudian memeluk agama lain (Islam dan kristen yang menyebar ke daratan
Tiongkok pada abad V dan VI), bahkan bagi pemaham ajaran Atheis (pada
abad XIX), tentu acara-acara ritual itu tidak dilakukan, cukup dengan
kebiasaan (adat dan tradisi) dalam keluarga.
Indonesia tergolong tempat kedatangan imigran dari daratan Tiongkok
yang terbesar di seluruh dunia, sejak abad VII, para saudagar dari
daratan Tiongkok berdatangan ke Nusantara, mereka disamping melakukan
perdagangan dengan penduduk setempat, juga melakukan penyebaran agama
yang dianutnya, dari agama Hindu, Budha sampai agama Islam, sebagian
mereka akhirnya tinggal dan menetap disini (buku Ying-yai Sheng-lan yang
mencatat perjalanan Cheng Ho dituliskan dan menetap disini (buku
Ying-yai Sheng-lan yang mencatat perjalanan Cheng Ho dituliskan bahwa
beliau telah berkunjung/menemui pada beberapa komunitas Tionghoa muslim
yang bermukim di Nusantara), setelah Kerajaan Belanda datang dan
akhirnya menjajah di Nusantara dengan VOCnya, untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja di perkebunan, pertambangan, dan bangunan VOC, mereka
mendatangkan orang-orang dari daratan Tiongkok bagian timurlaut yang
saat itu terpuruk akibat perang dan bencana alam yang terjadi disana,
dan para pendatang ini beragama leluhur (Tao, Tri Dharma atau Budha) dan
dimanfaatkan oleh penjajah Belanda sebagai ’kepanjangan tangan’ mereka
dalam menjalankan pemerintahan kolonialnya.
Dengan demikian sejak itu
terdapat dua macam komunitas Tionghoa yang berbeda agama dan tinggal /
menetap di Nusantara, pada akhirnya menjadi generasi sekarang yang
sangat berbeda satu dengan yang lain (Heterogen – masing-masing
membentuk karakter yang berbeda berdasarkan dari latar belakang
generasi, pendidikan, agama dan tempat kelahiran / domisili), sehingga
dalam menyikapi Tahun Baru Imlek ini, masing-masing memiliki pandangan
yang berbeda.
Orde Baru yang menutup sekolah berbahasa Tionghoa, melarang buku,
majalah dan apapun yang beraksara Tionghoa / Mandarin, yang berlangsung
selama 30 tahun lebih, telah mengikis habis orang-orang Tionghoa di
Indonesia yang benar-benar paham dengan sejarah, budaya, adat istiadat
dan tradisi leluhur dari Tiongkok, mereka telah habis karena meninggal
dunia atau pikun oleh usia yang uzur, sehingga pemahaman tentang Tahun
Baru Imlek ini hanya sebatas apa yang tetap / pernah dilakukan dalam
keluarga masing-masing, dan pengalaman peribadi ketika berada di
Komunitas Tionghoa yang tinggal di luar negeri / negara tetangga
(Singapore, Malaysia, Hongkong dan Taiwan), bahkan yang pernah mendapat
pengalaman di Tiongkok, sedangkan sekelumit pemahaman yang diperoleh ini
lebih banyak berarah pada segi seremonial atau hanya dari sudut pandang
bisnis, bukan dari sudut ilmiah dan kebenaran sejarah.
Era Reformasi yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak-Hak Asasi
Manusia (HAM), bertekad membangun Wawasan Kebangsaan dengan paham
Pularisme, serta usaha pemerintah sekarang dalam menghapuskan
perbedaan-perbedaan hukum antar warga negara, seluruh rakyat Indonesia,
telah menghidupkan kembali gairah warga Tionghoa utnuk merayakan Hari
Raya Imlek yang secara resmi ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional.
Namun perlu diingat, bahwa makna dan nilai-nilai budaya, adat serta
tradisi leluhur atas Hari Raya Imlek ini harus benar-benar dipahami oleh
seluruh masyarakat Indonesia, terutama bagi Warga Tionghoa, jangan
sekedar seremonial yang berlebihan dan pesta hura-hura, karena euphoria
hanya akan melukai hati orang lain, ketidak pahaman akan membuat orang
lain menjadi curiga, hanya keterbukaan dan kebersamaan yang justru akan
menambah kemeriahan Perayaan Hari Raya Imlek ini.
Pada saat ini dalam merayakan Hari Raya Imlek, masyarakat Tionghoa
seperti yang beragama Khatolik merayakannya di lingkungan gereja.
Beberapa gereja Katolik di Jakarta pada setiap Hari Raya Imlek selalu
mengadakan Misa Khusus yang dipersembahkan sebagai rasa syukur kepada
Yang Maha Kuasa. Bagi Orang Islam Tionghoa, begitu pula seperti warga
PITI di D. I Yogyakarta sejak beberapa tahun lalu telah mengadakan
syukuran antara lain di Masjid Syuhada. Jadi Hari Raya Imlek
sesungguhnya dapat dirayakan oleh seluruh warga, karena Perayaan Hari
Raya Imlek tidak berkaitan dengan kepercayaan/agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar