- Latar Belakang Munculnya Bodhisattva
Permulaan Agama
Buddha menanamkan ide rangkap mengenai arahat
dan Nibbana.
Buddha Gautama
mengajarkan kepada murid-muridnya yang pertama kali dengan Khotbah Empat
Kesunyataan Mulia dan Delapan Ruas Jalan Utama serta menekankan kepada
ketidak-kekalan dan tiada pemilikan dari semua unsure pokok mengenai pribadi
manusia.
Para siswa ini
dipanggil arhat, dan Buddha sendiri
diuraikan sebagai seorang Arahat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan dan
diperncikan secara perlahan-lahan oleh guru dan para penggantinya.
Seorang arahat
yang telah terbebas, mengetahui bahwa dia tidak akan terlahir kembali. Dia telah
menyelesaikan dengan baik apa yang harus dia kerjakan. Dia telah melepaskan
bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan
akhir emansipasi dari pikiran dan hati. Dia sendiri, menyendiri, bersemangat,
bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Hal itulah yang
menjadi ide arahat tersebut, sebagaimana dimengerti selama 3 abad setelah
Buddha Gautama Parinibbana. Tetapi nyatanya bahwa para Bikkhu agama Buddha
mulai mengabaik aspek penting tertentu dari pada itu sejak abad 2 S.M. dan dan
menekankan beberapa tugas terhadap pengeluaran dari yang lainnya. Mereka menjadi
terlalu mementingkan diri sendiri dan tafakur., dan tidak menunjukan dengan
jelas emansionari di antara manusia. Mereka nampaknya hanya memperhatikan diri
mereka sendiri demi mencapai pembebasan dari dosa dan dukka. Mereka tidak
membedakan terhadap tugas untuk membantu smeua makhluk manusia.
Lalu muncullah
ajaran Bodhisttava yang diumumkan secara resmi oleh beberapa pemuka
agama/pemimpin agama Buddha sebagai suatu protes terhadap kekurangn terhadap
semangat spiritual yang benar ini dan altruism (sifat mementingkan kepentingan
oranglain) diantara para Bikkhu pada waktu itu.
Kedinginan dan
kejauhan dari para arahat itu menunjukan suatu pergeseran yang sesuai dengan
ajaran alam menegnai “menyelamatkan semua makhluk”. Ide bodhisttva ini dapat dimengerti hanya
menantang latar belakang ini mengenai seorang saleh dan tenang, namun tidak
aktif dan golongan viharawan/viharawati yang tidak cekatan.
- Doktrin Bodhisttva
Secara harfiah Bodhisattwa
berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, pengertian
Bodhisattwa sudah dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Buddha Gautama,
sebelum ia menjadi Buddha. Di situ Bodhisattwa berarti orang yang sedang dalam
perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi
Buddha. Jadi semula Bodisattwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan
untuk menjadi Buddha. Di dalam Mahyana Bodhisattwa adalah orang yang sudah
melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan
tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bodhisattwa bukan hanya
merenungkan kesengsaraan dunia saja, melainkan juga turut melaksanakannya
dengan berat. Oleh karenanya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan
segala aktivitasnya sekarang dan kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya
pada dunia maka segala kebijakannya dipergunakan untuk menolong orang lain.
“Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk
menjadi Bodhisattwa. Cita-cita ini
berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi Arhat.”
Sebab seorang arhat hanya memikirkan kelepasan
diri sendiri. [1]
“Cita-cita Mahayana ini juga berlainan
sekali dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka
Buddha”
Seperti yang diajarkan oleh
Hinayana, yaitu bahwa karena usahanya sendiri orang dapat mencapai pencerahan
bagi dirinya sendiri saja, tidak untuk diberitakan kepada orang lain. Sekalipun
karena kebijakannya seorang Bodhisattwa sudah dapat mencapi Nirwana, namun ia
memilih jalan yang lebih panjang. Ia belum mau masuk Nirwana, dikarenakan belas
kasihnya pada dunia, agar dunia dalam arti seluas-luasnya (termasuk para Dewa
dan manusia) bisa mendapatkan Nirwana yang sesempurna mungkin.
Aliran Mahayana
berpendapat bahwa manusia tidak hidup sendiri dan harus terlibat dengan
sesamanya. Sehingga nasib seseorang berkaitan dengan nasib manusia seluruhnya
karena semua makhluk dan semua hal tidak mempunyai kemandirian. Adanya rhmat
bagi semua memberikan kedamaian dalam hati manusia yang berakar dari nirwana. [2]
Berkaitan dengan cita-cita
tentang Bodhisattwa ini, di dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta, yaitu bahwa kebajikan dapat
dipergunakan untuk kepentingan orang lain. Orang yang mendapatkan pahala karena
kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk kepentingan orang lain.
Ajaran ini sudah barang tentu berlainan sekali dengan ajaran agama Buddha kuno,
yang mengajarkan bahwa hidup seseorang terpisah dari hidup orang lain.
Di dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu
seorang Bodhisattwa tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan
atau dalam keadaan yang tidak
menyenangkan di dunia.
Demikian juga seorang Bodhisattwa tidak diharuskan
menyangkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup seperti apa adanya. Ia boleh
beristri, memiliki kemewahan, dan kekuasaan.
Demikianlah cita-cita hidup di
dalam Mahayana berbeda sekali dengan cita-cita hidup di dalam Hinayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar